Nasional, Samarinda - Buku “Ekspedisi Kudungga - Menelusuri Jejak Peradaban Kutai” menunjukkan apa yang selama ini telah menjadi milik Kalimantan Timur. “Buku ini adalah bukti betapa kaya bumi Kutai, baik alam, budaya, maupun sejarahnya,” kata Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak dalam sambutannya saat peluncuran buku ini tadi siang, 25 Agustus 2017.

Buku Ekspedisi Kutai setebal 260 halaman merupakan hasil kerja sama Total E&P Indonesie, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, dan Tempo Institute. Bertempat di Pendopo Liman, Samarinda, acara peluncuran dihadiri seratusan undangan dari berbagai daerah di Kalimantan Timur.

Buku ini bermula dari gagasan Awang Faroek tiga tahun lalu, yang ingin mendokumentasikan sejarah perjalanan masa demi masa di Kalimantan Timur. Awang ketika itu menemui Hardy Pramono, CEO Total E&P Indonesie kala itu, dan memintanya memfasilitasi pembuatan buku. Tempo Institute, bagian dari Tempo Inti Media, kemudian diajak bersama-sama mewujudkan buku tersebut.

Kini, setelah berproses lebih dari dua tahun, buku ini akhirnya resmi terbit. “Kami merasa terhormat menjadi bagian dari proses ini, yakni pembuatan buku yang memetakan perjalanan Kutai ini,” kata Agus Suprijanto, Vice President Total E&P Indonesie, dalam sambutannya. “Dengan mengenal sejarah, kita akan lebih memahami masa kini, dan lebih bijak menghadapi masa depan.”

Ekspedisi Kudungga dirancang dengan mengunakan pendekatan jurnalistik. Proses diawali dengan kajian pustaka dan serial diskusi, yang melibatkan para ahli seperti arkeolog, antropolog, ahli sejarah. Tahapan berikutnya, Tim Ekspedisi Kudungga, yang terdiri dari fotografer —Jefrie Aries (almarhum), Aditia Noviansyah, dan Rully Kesuma; penulis, yakni Muhlis Suhaeri, Mardiyah Chamim, Qaris Tajudin, Yosep Suprayogi, dan Kartika Candra, turun meliput ke lapangan. Tim video dokumenter, yang terdiri dari Endah Wahyu Sulistianti, M Faizurahman, dan Yogi, juga turun  menyusuri lokasi-lokasi yang menggambarkan perjalanan sejarah bumi Kutai.

Syahrudin Pernyata, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kalimantan TImur, yang menjadi pembahas buku dalam acara ini, mengapreasiasi terbitnya buku Ekspedisi Kudungga. “Buku ini menunjukkan bahwa Pak Gubernur kita memang sosok yang punya visi dan menghargai kebudayaan,” kata Syafrudin.

Kendati mengapresiasi terbitnya buku Ekspedisi Kudungga, Syafrudin punya catatan penting. “Mengapa judulnya Ekspedisi Kudungga, yang dari abad kedua masehi, tetapi gambar sampulnya adalah patung lembu swana yang muncul di masa Kerajaan Kutai Kartanegara?” Akan lebih baik, menurut Syafrudin, dalam buku ini dijelaskan dasar pemilihan gambar sampul dan juga judul buku. “Supaya pembaca jadi paham.”

Buku ini, menurut Syafrudin, juga tidak menukik mendalami perjalanan Kudungga, raja pertama Kerajaan Kutai di abad kedua Masehi, namun melebar ke berbagai fase sejarah yang dialami Kalimantan, khususnya Kutai. Menanggapi hal ini, Mardiyah Chamim, Direktur Tempo Institute, menjelaskan bahwa memang buku Ekspedisi Kudungga sifatnya adalah overview keseluruhan perjalanan Kalimantan. “Ini adalah pemantik bagi kita semua, jurnalis, budayawan, sejarawan, untuk menengok lebih dalam dan menuliskan perjalanan Kutai dengan lebih detil.”

Salah satu poin penting yang didapat selama pembuatan buku ini adalah berbagai bukti kebhinnekaan Nusantara. Pertemuan dan relasi antar etnis dan antar bangsa berlangsung bahkan sejak zaman prasejarah. Seperti catatan Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam buku ini: “Sejarah Nusantara adalah sejarah kebhinnekaan, sebuah fakta historis yang tak dapat dielakkan ke mana pun kita menoleh di semua periode sejarah.”

MARDIYAH