Nasional, YOGYAKARTA-–Meskipun rata-rata masyarakat Indonesia menggunakan gadgetnya sepanjang hari ternyata tidak menjamin penggunanya mampu menggunakan internet dengan baik. Sebaliknya, tidak menutup kemungkinan penggunanya justru mengalami kegagapan teknologi.

BACA: Cyber Bullying Meningkat, 24 Kampus Memetakan Gerakan Literasi Digital

 “Karena masyarakat Indonesia belajar internet dari smartphone. Hasilnya? Bisa belanja online, berswafoto,” kata Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Dyna Herlina dalam konferensi pers tentang pemaparan hasil riset pemetaan gerakan literasi media oleh Jaringan Pegiat Literasi Media (Japelidi) di Legend Cafe Yogyakarta, Ahad, 10 September 2017.

 Berbeda dengan masyarakat di sejumlah negara di Eropa yang belajar internet dari desktop. “Hasilnya, mereka mempunyai kemampuan membuat produksi,” kata Dyna.

Kegagapan digital yang dialami masyarakat Indonesia dicontohkan Dyna seperti riuhnya protes guru yang harus mempunyai alamat email sendiri untuk proses sertifikasi. Kemudian penerapan ujian nasional (UN) berbasis komputer tanpa memberikan pembekalan terhadap para guru.


BACA: Pengamat Berharap Ada Sosialisasi Panduan Gunakan Internet

Akibatnya banyak guru kesulitan membuat soal UN berbasis komputer. Juga penghapusan Information and Communication Technologies (ICT) dari kurikulum 2012. Serta belum meratanya sarana laboratorium digital di sekolah-sekolah.

Kegagapan digital itu tidak terlepas dari peran pemerintah yang belum maksimal. Peran pemerintah yang dimaksud adalah memberikan infrastruktur, pelayanan, dan pendidikan tentang media digital.

 Dia mencontohkan, Unesco telah merativikasi penerapan nomer induk transformasi digital pada 10 tahun lalu setelah didesak Inggris yang lebih dahulu menerapkan pada 1997. Sedangkan negara Asia yang telah merativikasinya adalah India pada 2014. Tidak heran, India mempunyai industri media digital sendiri. Sedangkan Indonesia sama sekali belum merativikasinya.

 “Pemerintah kebanyakan ragu dan takut atas dampak digital. Padahal itu peluang,” kata Dyna.

Kegagapan digital itu membawa dampak negatif bagi masyarakat sendiri. Seperti meningkatnya hoax, cyber bullying, pelanggaran privasi, hingga konten pornografi saat menggunakan media digital.

“Negara tidak harus menunggu kebutuhan digital muncul. Tapi harus menyiapkannya,” kata Koordinator Japelidi Novi Kurnia.

 Sejumlah rekomendasi untuk pemerintah, akademisi, dan keluarga disampaikan dalam upaya mengatasi kegagapan digital itu. Untuk tingkat makro, membangun infrastruktur digital, menciptakan pengaturan penggunaan digital untuk masyarakat, pemberdayaan digital setiap warga negara seperti melalui gerakan literasi digital.

Di tingkat meso adalah akademisi melakukan reformasi digital di kelas-kelas, juga penerapan pendidikan berbasis digital. Sedangkan di tingkat mikro adalah orang tua didorong menjadi mentor pendidikan digital untuk anaknya. Orang tua pun harus melek digital. PITO AGUSTIN RUDIANA