Nasional, Jakarta - Pemerintah mengusulkan pemangkasan 97 pasal dari 152 pasal dalam Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang diajukan DPR. "Dari 152 pasal RUU versi DPR cukup diatur dalam 55 pasal saja," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Menteri Yohana Yembise dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 11 September 2017.

Yohana menyatakan pasal-pasal yang sifatnya teknis akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP). Selain itu, sejumlah pasal yang yang terdapat dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah diatur dalam undang-undang lain.

Baca juga: Siswi SMP di Buru Dilecehkan 18 Pria pada Januari-Agustus 2017

Dalam pendangannya, Yohana mengungkapkan bahwa kekerasan seksual tidak hanya berpotensi menimpa perempuan dan anak-anak tetapi juga laki-laki, serta jenis-jenis kekerasan seksual lainnya. Pemerintah juga tidak akan membuat lembaga baru di daerah untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual.

Sejumlah anggota Komisi VIII menyatakan perlu menelaah usulan pemerintah tersebut sebelum menyetujui penghapusan Daftar Inventaris Masalah (DIM). Anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Amanat Nasional Dessy Ratnasari mengatakan sepakat dengan pandangan pemerintah untuk tidak membentuk lembaga baru di daerah.

Baca juga: Cegah Kekerasan terhadap Anak, Orang Tua Harus Melek Informasi

Menurut Dessy, pembentukan lembaga baru hanya akan menjadi beban APBN. Kendati tidak menyetujui adanya lembaga baru, Dessy mempertanyakan posisi Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). "Kita juga harus mendengarkan komisi ini ada di mana?" kata Dessy.

Dessy mempertanyakan keseriusan pemerintah karena hanya mewakilkan satu menteri dalam rapat kerja tersebut. Menurut jadwal, rapat kerja tersebut melibatkan enam kementerian, yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Kementerian Hukum dan HAM.

Baca juga: Ini Tiga Kawasan Sasaran Perdagangan Manusia

Ketua Komisi VIII Ali Taher  mengatakan pembentukan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diperlukan perundang-undangan yang ada dinilai belum mampu merespon kekerasan seksual yang ada di masyarakat. Ali menyebutkan perempuan dan anak-anak paling banyak menjadi korban kekerasan seksual.

"Data menunjukkan bahwa dalam empat tahun terakhir, yaitu dari 2014 sampai 2017, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak mencapai lebih 50 persen dari seluruh kasus kekerasan yang ada," ujar Ali.

Baca juga: Kasus Pedofilia Masa Kini Tidak Gunakan Kekerasan

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ditetapkan sebagai program legislasi nasional (prolegnas) prioritas pada 2016. Presiden menugaskan enam kementerian, yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan untuk menginisiasi pembentukan RUU ini.

BUDIARTI UTAMI PUTRI