Bisnis, Jakarta - Penulis dan penyair Sapardi Djoko Damono ikut berkomentar ihwal pajak yang dibebankan kepada penulis seperti yang diungkapkan oleh Tere Liye. Sapardi mengatakan tak masalah bila ia dibebankan pajak lagi.

"Saya tidak masalah, karena selama ini saya makan dipajakin, saya naik kereta api dipajakin, semua dipajakin. Mengapa tidak, memang pajak untuk siapa? Untuk kita juga," kata Sapardi Djoko Damono usai peluncuran buku Mak Dizdar Nisan Batu yang diterjemahkannya di ajang Indonesia Internasional Book Fair, Jakarta, 10 September 2017.

Menurut Sapardi, pemungutan pajak adalah hak negara. "Saya tidak merasa keberatan. Itu hak negara," ujarnya.

Hanya saja dia menegaskan bahwa pajak yang ditarik dari rakyat, tidak dikorupsi oleh oknum pajak. "Yang saya tidak setuju adalah bahwa pajak kemudian dikorupsi," kata Sapardi. Menurut dia, pajak tidak membatasi dirinya untuk berkarya sebagai penulis.

Dalam surat dengan nomor S-639/PJ.03/2017 itu disebutkan penghasilan penulis dapat dihitung dengan menggunakan NPPN dengan beberapa syarat. Pertama wajib pajak memiliki penghasilan bruto dalam satu tahun kurang dari Rp 4,8 miliar. Kedua, wajib pajak memberitahukan mengenai penggunaan NPPN kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama tiga bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan.

Ketiga, wajib pajak diharuskan melakukan pencatatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-4/PJ/2009. Di akhir surat tersebut disebutkan penghasilan bruto itu meliputi semua penghasilan, termasuk royalti dari hak cipta yang dimiliki penulis.

Penulis buku Tere Liye memutus kontrak penerbitan bukunya dengan Gramedia Pustaka Utama dan Republika. Penulis buku "Negeri Para Bedebah", "Burlian", "Rindu", dan "Negeri di Ujung Tanduk". Penulis bernama asli Darwis ini keberatan dengan pungutan Tere Liye, penulis harus membayar pajak 24 kali lebih tinggi dibanding pengusaha usaha mikro kecil dan menengah. Artinya dua kali lebih besar dibanding profesi pekerjaan bebas.

HENDARTYO HANGGI