Nasional, Jakarta - Ketua Bidang Hukum Pengurus Besar Nandlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas menyatakan Komite Nobel harus mencabut penghargaan Nobel Perdamaian pada Aung San Suu Kyi. Alasannya, penasihat pemerintah Myanmar itu dinilai hanya bersikap diam dan membiarkan kekerasan terhadap etnis Rohingya yang terjadi di negaranya.

"Untuk apa Nobel Perdamaian dipertahankan jika perdamaian di depan mata dikoyak dan hanya berpangku tangan," kata Robikin melalui pesan singkat, Ahad, 3 September 2017.

Baca : Majelis Buddha Indonesia Desak Myanmar Hentikan Konflik Rohingya

Aung San Suu Kyi adalah mantan oposisi pemerintah junta militer Myanmar. Atas perjuangannya yang dianggap prodemokrasi, Suu Kyi mendapat Hadiah Nobel Perdamaian dari Komite Nobel pada 1991. Belakangan, Suu Kyi menjadi penasihat pemerintah Myanmar yang secara de facto merupakan pemimpin Myanmar.

Sebagai pemimpin, Suu Kyi diharapkan bisa mencegah kekerasan terhadap etnis Rohingya. Namun, mantan aktivis prodemokrasi itu hanya diam dan seolah membiarkan kekerasan terus terjadi. Sikap tersebut menuai kecaman dunia internasional, termasuk dari PBNU.

Baca : NU dan Muhammadiyah Desak PBB Hentikan Konflik Rohingya

Robikin mengatakan pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah diplomatik yang meyakinkan untuk menghentikan tragedi kemanusiaan pada etnis Rohingya. Hal tersebut semata pertimbangan kemanusiaan, sesuai kaidah politik bebas-aktif. "Kegiatan kemanusiaan pun harus dilakukan secara serius pemerintah Indonesia menyelesaikan kekerasan terhadap etnis Rohingya," kata dia.

Menurut laporan utusan PBNU yang tergabung dalam misi kemanusiaan, Indonesia adalah satu-satunya negara yang dipercaya dan diizinkan pemerintah Myanmar untuk melakukan kegiatan kemanusiaan. "Indonesia harus mengoptimalkan kepercayaan itu," kata Robikin.

AMIRULLAH SUHADA